Indonesia telah terlibat dalam berbagai kerja sama global untuk memerangi dampak kerusakan lingkungan, seperti Perjanjian Paris, Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim (UNFCCC), dan Protocol Kyoto. Diskusi internasional juga secara tegas menyatakan bahwa upaya pengendalian perubahan iklim harus dilakukan dengan pertimbangan national circumstances dan kedaulatan negara. Dalam jangka panjang, Indonesia juga telah menargetkan cita-cita besar nol emisi pada tahun 2060.
Negara berkewajiban memberikan arahan dan memastikan agar setiap agenda pembangunan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat harus berjalan selaras dengan aspek perlindungan lingkungan dan sosial.
Pemerintah juga sudah mulai menekan sektor industri untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dengan melibatkan instrumen pajak karbon yang dikalkulasikan dengan seksama.
Pajak karbon akan mendorong industri untuk menerapkan efisiensi penggunaan energi dengan elektrifikasi sampai pada akhirnya beralih ke sumber energi low-emission (rendah emisi).
Meskipun hal ini masih menjadi tantangan karena faktor sumber daya, biaya, dan akses yang diperlukan untuk membentuk ekosistem energi terbarukan. Semua faktor ini belum semurah dan semurah menggunakan energi fosil.
Emisi Karbon Industri
Di Indonesia terdapat beberapa sektor industri yang diketahui telah menyumbang emisi karbon dalam jumlah besar, di antaranya industri otomotif, semen, baja, pulp dan kertas, pupuk, tekstil, keramik, petrokimia, serta industri makanan dan minuman tertentu.
Dari total emisi GRK yang mencapai 1,3 juta gigagram CO2 equivalent, sektor industri menyumbang sekitar 3,12 persen yang berasal dari proses produksi, dan 9,63 persen dari pemakaian energi.
Oleh karenanya, pemerintah senantiasa menggencarkan konsep industri hijau, yaitu industri yang mampu menerapkan efisiensi, proses daur ulang, dan sumber daya alam dengan tujuan mengubah aktivitas produksi menjadi ramah lingkungan.
Industri Hijau Sebagai Solusi
Konsep industri hijau diyakini dapat menjadi solusi jitu untuk menekan emisi karbon. Industri hijau juga berpotensi mendongkrak daya saing sektor manufaktur di kancah persaingan internasional. Sebab, saat ini para investor sudah mulai menimbang serius emisi karbon yang dihasilkan suatu perusahaan.
Pemerintah juga dapat memberikan insentif bagi pengusaha di industri-industri terkait jika menerapkan konsep ekonomi hijau (green economy). Hal ini tentunya akan sangat membantu mengingat industri perlu berinvestasi untuk mengganti mesin lama dengan mesin baru yang lebih rendah emisi.
Perlu diketahui, dalam konsep industri hijau proses produksi mengedepankan efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya yang berkelanjutan agar sejalan dengan agenda Making Indonesia 4.0. Prinsip ini mampu menyelaraskan pembangunan industri bersamaan dengan pelestarian alam.
Gunung Prisma, Perusahaan Baja dengan Misi Keberlanjutan
Gunung Prisma merupakan salah satu perusahaan perdagangan baja terbesar di Indonesia yang menyediakan solusi baja holistik. Perusahaan ini tengah dipimpin oleh Liwa Supriyanti, perempuan lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan Bandung yang sudah berpengalaman selama 20 tahun lebih di industri baja dan kimia.
Sejak Liwa Supriyanti memimpin Gunung Prisma, ia menghadirkan berbagai strategi berkelanjutan yang sejalan dengan cita-cita pemerintah mencapai nol emisi di masa depan. Salah satu inisiatifnya adalah konsep green steel, suatu gagasan untuk meningkatkan produksi baja berkualitas tinggi dengan proses yang ramah lingkungan.
Selain itu, Liwa Gunung Prisma juga turut menerapkan konsep green steel dalam sistem ekonomi sirkular. Industri baja sendiri termasuk salah satu sektor yang cocok dengan ekonomi sirkular, mengingat biaya produksinya akan lebih murah dan ramah lingkungan.
Liwa Supriyanti Hadirkan Transformasi Hijau di Gunung Prisma